
Bismillah, kali ini kami akan membahas salah satu kitab yang menjadi kurikulum di kuliah kami. Salah satu kitab fiqih yang sangat terkenal dan pasti dipelajari oleh orang yang mengambil fakultas Syari'ah. Semoga penjelasan berikut bisa dipahami.
Nama asli kitab ini adalah Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul
Muqtashid yang ditulis oleh Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ahmad bin Rusyd Al Qurtubi (sekarang Kordoba). Saat kami pertama kali masuk di
kuliah ini ada beberapa orang mengatakan kitab fiqih judulnya “bidayah wa
nihayah”, kemudian kami tanya apakah maksudnya adalah kitab karangan Ibnu
Katsir dan ternyata yang dia maksud adalah kitab ini yaitu Bidayatul Mujtahid.
Jadi maksudnya, beberapa orang juga ada yang menyebut kitab ini dengan Bidayah
wa Nihayah.
Tentang Ibnu Rusyd sendiri, beliau adalah seorang Faqih, Ushuliyin
(ahli ushul fiqih), Mutakallim (ahlul kalam), dan seorang Hakim. Beliau lahir
di Kordoba tahun 520H sebelum meninggalnya kakek beliau (Muhammad bin Ahmad Al
Jadd, nama beliau dan kakek beliau sama yaitu Muhammad bin Ahmad). Beliau
tumbuh di lingkungan yang dengan suasana ilmiyah. Beliau juga menjadi hakim di
kordoba setelah ayah dan kakeknya. Diantara beberapa cabang ilmu yang beliau
pernah pelajari adalah : Fiqih, Hadits, Bahasa Arab, Kedokteran, dan beliau
juga pernah mempelajari filsafat dan ilmu mantiq, dan beberapa ilmu lain yang tersebar
di Andalus. Ibnu Rusyd memiliki sifat yang baik, halus, lemah lembut, dan
berlapang dada terhadap orang yang menyelisihi pendapatnya, dan hal itu
dibuktikan dengan kitab yang beliau tulis ini –bidayah mujtahid-. Beliau wafat
di Isybiliyah (Sevilla) pada tahun 595H.
Kitab ini adalah kitab fiqih Muqorron (perbandingan), yang artinya
kitab ini tidak ditulis di atas suatu madzhab tertentu. Sebagaimana yang kita
ketahui ada banyak madzhab dalam fiqih dan diantara madzhab yang terkenal
adalah Hanafiyah (Imam Abu Hanifah), Malikiyah (Imam Malik bin Anas),
Syafi’iyah (Imam Muhammad bin Idris), Hambali (Imam Ahmad bin Hambal), dan
Dhohiriyah (Dawud Adh Dhohiri, akan tetapi yang membuat madzhab ini terkenal
adalah Ibnu Hazm Al Andalusyi). Meskipun pada aslinya Ibnu Rusyd adalah orang
yang bermadzhab Malikiyah, beliau tidak menulis kitab ini diatas madzhab
Malikiyah. Bahkan selain Imam Madzhab yang 4 beliau juga memasukkan pendapat
lain dari para ulama dalam setiap masalah yang beliau bahas seperti pendapat dari
: Abu Tsaur, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyaynah, Al Auza’i, Al Laits, Abu
Yusuf (murid Abu Hanifah), Al Muzanni (Ulama Syafi’iyyah), Abul Qosim, dan lain
– lain Rahimahumullah jamii’an.
Dalam penulisan kitab ini, Ibnu Rusyd menggunakan metode yang sangat
bagus. Di Muqoddimah, Ibnu Rusyd terlebih dahulu menjelaskan alasan mengapa
beliau menulis kitab Bidayatul Mujtahid ini. Diantara perkataan beliau adalah
beliau menulis ini sebagai bentuk murojaah terhadap ilmu yang beliau miliki.
Maksudnya adalah beliau seperti mengulangi hafalan beliau atau mengulangi lagi
apa yang beliau pelajari dengan cara menuliskannya di sebuah kitab, dan tujuan
dari hal tersebut semata – mata agar ilmu yang beliau miliki tidak hilang dan
tetap berada bersama beliau. Kemudian setelah alasan penulisan kitab, beliau
melanjutkan muqoddimah kitab ini dengan sedikit pembahsan Ushul Fiqh, dan sebab
terjadinya perbedaan pendapat diantara para Ulama dalam menentukan hukum dalam
masalah fiqih.
Kemudian dalam menyebutkan setiap masalah, Ibnu Rusyd memulai
dengan masalah yang ulama bersepakat dalam hal tersebut. Setelah itu beliau
baru menyebutkan masalah yang disitu terdapat perbedaan pendapat dengan
menyebutkan semua perbedaan pendapat yang ada dan menyebutkan siapa yang
berpendapat dengan pendapat itu. Beliau tidak lupa menyebutkan dalil dari
setiap pendapat yang ada dan juga menyebutkan sebab terjadinya pendapat itu.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak lepas dari 6 hal yang disebutkan Ibnu
Rusyd dalam Muqoddimah kitab ini.
Ibnu Rusyd hampir tidak pernah menyebutkan pendapat mana yang rojih
disetiap masalah yang beliau bahas. Oleh karena itu, kitab ini sangat bagus
bagi mereka yang ingin belajar fiqih Muqorron. Akan tetapi dosen kami disini
memberikan saran bagi kami, agar sebelum membaca kitab ini kami memiliki dasar
dalam pelajaran fiqih. Semisal kami disini memiliki dasar fiqih dalam madzhab
Hambali karena kitab yang dulu kami pelajari sebelum Bidayah Mujtahid adalah
kitab Minhajus Salikin karya Syaikh Abdurrahmman As Sa’di rahimahullah. Akan
tetapi jika seseorang ingin mengambil madzhab lain sebagai dasar maka tidak
masalah. Seperti halnya Indonesia yang notabenenya bermadzhab Syafi’iyyah, maka
sebelum belajar Bidayah Mujtahid bisa terlebih dahulu mempelajari fiqih madzhab
Syafi’i seperti Matan Abu Syuja’, atau Minhajut Tholibin karya Imam Nawawi,
atau kitab – kitab fiqih ringan lainnya dalam madzhab Syafi’i. Belajar fiqih
dengan madzhab tertentu ini bertujuan agar sebelum masuk ke Bidayah Mujtahid
seseorang sudah punya dasar yang bisa dijadikan pedoman dalam menghadapi
perbedan – perbedaan pendapat yang akan dia temui nantinya.
Dan perlu diingat lagi, tujuan mempelajari kitab ini adalah untuk
mengetahui apa saja perkataan – perkataan ulama yang ada dalam suatu masalah
fiqih, bukan untuk mengetahui mana pendapat yang rojih dan mana yang tidak
rojih. Salah seorang dari senior kami disini pernah bertanya pada kami “apakah
kamu tahu tujuan belajar Bidayah Mujtahid ?” lalu kami menjawab “untuk tahu
perkataan – perkataan ulama di setiap masalah fiqih.” Kemudian beliau menambahi
jawaban kami tadi “iya benar, salah satu tujuannya adalah itu. Tapi ada tujuan
lain belajar Bidayah Mujtahid yaitu agar kita itu bisa sabar dan punya hati
yang lapang.” Yang maksudnya adalah karena belajar kitab ini kita akan jadi
lapang dada ketika menyikapi perbedaan dalam masalah fiqih yang memang disitu
ada perbedaan, tidak akan merasa pendapatnya sendiri yang benar, dan kalaupun
memang mau membantah pendapat orang lain yang tidak sama dengan kita,
insyaaAlloh bantahan yang keluar setelah mempelajari kitab ini adalah bantahan
yang berdasarkan ilmu.
- Diambil dari Muqodimah Kitab Bidayah Mujtahid cetakan Darul Kitab Arobiy, Beirut.
- Diambil juga dari penjelasan Ustadz Anas Burhanuddin dalam mata kuliah Fiqih Ibadah



